Pages

Rabu, 08 Januari 2014

#SOFTSKILL {AGAMA & MASYARAKAT}

1.  Fungsi agama dalam masyarakat

            Agama merupakan salah satu prinsip yang (harus) dimiliki oleh setiap manusia untuk mempercayai Tuhan dalam kehidupan mereka. Tidak hanya itu, secara individu agama bisa digunakan untuk menuntun kehidupan manusia dalam mengarungi kehidupannya sehari-hari. Namun, kalau dilihat dari secara kelompok atau masyarakat, bagaimana kita memahami agama tersebut dalam kehidupan masyarakat ?

Prof. Dr. H. Jalaluddin dalam bukunya Psikologi Agama membantu kita memahami beberapa fungsi agama dalam masyarakat, antara lain:


1.Fungsi Edukatif (Pendidikan)
Ajaran agama secara yuridis (hukum) berfungsi menyuruh/mengajak dan melarang yang harus dipatuhi agar pribagi penganutnya menjadi baik dan benar, dan terbiasa dengan yang baik dan yang benar menurut ajaran agama masing-masing.

2.Fungsi Penyelamat
Dimanapun manusia berada, dia selalu menginginkan dirinya selamat. Keselamatan yang diberikan oleh agama meliputi kehidupan dunia dan akhirat. Charles Kimball dalam bukunya Kala Agama Menjadi Bencana melontarkan kritik tajam terhadap agama monoteisme (ajaran menganut Tuhan satu). Menurutnya, sekarang ini agama tidak lagi berhak bertanya: Apakah umat di luat agamaku diselamatkan atau tidak? Apalagi bertanya bagaimana mereka bisa diselamatkan? Teologi (agama) harus meninggalkan perspektif (pandangan) sempit tersebut. Teologi mesti terbuka bahwa Tuhan mempunyai rencana keselamatan umat manusia yang menyeluruh. Rencana itu tidak pernah terbuka dan mungkin agamaku tidak cukup menyelami secara sendirian. Bisa jadi agama-agama lain mempunyai pengertian dan sumbangan untuk menyelami rencana keselamatan Tuhan tersebut. Dari sinilah, dialog antar agama bisa dimulai dengan terbuka dan jujur serta setara.

3.Fungsi Perdamaian
Melalui tuntunan agama seorang/sekelompok orang yang bersalah atau berdosa mencapai kedamaian batin dan perdamaian dengan diri sendiri, sesama, semesta dan Alloh. Tentu dia/mereka harus bertaubat dan mengubah cara hidup.
Fungsi Kontrol Sosial. Ajaran agama membentuk penganutnya makin peka terhadap masalah-masalah sosial seperti, kemaksiatan, kemiskinan, keadilan, kesejahteraan dan kemanusiaan. Kepekaan ini juga mendorong untuk tidak bisa berdiam diri menyaksikan kebatilan yang merasuki sistem kehidupan yang ada.

4.Fungsi Pemupuk Rasa Solidaritas
Bila fungsi ini dibangun secara serius dan tulus, maka persaudaraan yang kokoh akan berdiri tegak menjadi pilar "Civil Society" (kehidupan masyarakat) yang memukau.
Fungsi Pembaharuan. Ajaran agama dapat mengubah kehidupan pribadi seseorang atau kelompok menjadi kehidupan baru. Dengan fungsi ini seharusnya agama terus-menerus menjadi agen perubahan basis-basis nilai dan moral bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
5.Fungsi Kreatif
Fungsi ini menopang dan mendorong fungsi pembaharuan untuk mengajak umat beragama bekerja produktif dan inovatif bukan hanya bagi diri sendiri tetapi juga bagi orang lain.
Fungsi Sublimatif (bersifat perubahan emosi). Ajaran agama mensucikan segala usaha manusia, bukan saja yang bersifat agamawi, melainkan juga bersifat duniawi. Usaha manusia selama tidak bertentangan dengan norma-norma agama, bila dilakukan atas niat yang tulus, karena untuk Alloh, itu adalah ibadah.


2. {studi-kasus} Konflik yang berkaitan dengan agama yang ada di masyarakat

            Indonesia adalah sebuah masyarakat majemuk yang terdiri atas banyak suku bangsa, baik langsung maupun tidak langsung, dipaksa bersatu di bawah kekuasaan sebuah sistem nasional. Negara kesatuan Indonesia pada dasarnya dapat mengandung potensi kerawanan akibat keanekaragaman suku bangsa, bahasa, agama, ras dan etnis golongan (SARA) sehingga hal tersebut merupakan faktor yang akan berpengaruh terhadap lahirnya potensi konflik. Ini terbukti dengan makin marak dan meluasnya konflik akhir-akhir ini Indonesia.

Hal inilah yang terjadi di pulau Bangka beberapa tahun yang lalu. Karena dorongan faktor perekonomian banyak pendatang mengadu nasib di daerah ini. Suku bangsa keturunan Cina yang sudah sangat lama menetap di pulau Bangka, Suku Madura, Suku Jawa, Suku Bugis, Suku Palembang, dan masyarakat dari daerah Flores serta suku lain dalam jumlah yang relatif kecil. Keanekaragaman suku ini yang terkadang sulit dipersatukan dimana mereka bertahan dengan pandangan sempit, egoisme kesukuan daerah masing-masing, hasilnya gesekan-gesekan konflik pecah menjadi sebuah pertumpahan darah.

Anda masih ingat dengan kerusuhan malam lebaran Idul Fitri tanggal 2 November 2006 di Desa Air Bara antara masyarakat pribumi Bangka dengan warga Air Sampik (mayoritas suku Jawa) yang menyebabkan beberapa rumah warga Air Sampik hangus terbakar, kerusuhan antar penambang timah yang melibatkan antara Suku Bugis Makassar, Suku Palembang, dengan masyarakat asli Belinyu pada tahun 2006.
Penyebab Konflik

Konflik yang terjadi di daerah ini sering diidentikkan dengan konflik fisik yang cenderung dengan penggunaan kekerasan terhadap musuhnya.   Berawal dari hanya permasalahan jatidiri orang-perorang akhirnya berkembang mewakili jatidiri golongan atau kelompok untuk menghancurkan pihak lawan atau memenangkan konflik tersebut.  

Kerusuhan malam lebaran Idul Fitri di Desa Airbara seperti yang disebutkan sebelumnya disebabkan karena tanah kelahiran orang Melayu Bangka yang tinggal di Desa Airbara terasa diinjak-injak kehormatannya oleh suku bangsa lain yang hanya pendatang, tetapi yang terjadi harus mengorbankan nyawa seorang pemuda Airbara yang terbunuh oleh warga Airsampik walaupun perbuatan korban saat itu bermula  dari kasus pemerasan terhadap salah satu warga Airsampik. 

Kerusuhan antar penambang timah (ti apung) yang sarat dengan potensi sara di Laut Bubus Belinyu pada akhir Mei 2006 berawal dari  perebutan lahan penambangan di Laut Bubus dan Batu Atap saat itu,  menambah deret kecemburuan sosial bagi masyarakat Belinyu yang beranggapan bahwa kawasan tersebut adalah milik orang Belinyu, sudah sepatutnya mereka merasakan hasil bumi alamnya, bukanlah untuk dimiliki oleh suku bangsa lain yang hanya datang sebagai tamu saja dan mengeruk keuntungan, lalu pergi begitu saja.

**Akar Masalah dan Penanganan Konflik

Hubungan antara masyarakat pendatang dengan masyarakat setempat terpusat pada masalah kompetisi untuk memperebutkan sumber-sumber  daya, dan tingkat agretivitas secara ekonomi dari pendatang adalah masalah yang paling kritikal dalam persaingan sumber daya. Karena masyarakat setempat melihat diri mereka sebagai tuan rumah dan para pendatang sebagai tamunya, ( Parsudi Suparlan, 2005: 178). Yang tak luput  adalah masalah harga diri atau kehormatan mereka.  Konflik-konflik itu terjadi, karena adanya pengaktifan jatidiri etnik untuk solidaritas memperebutkan sumber daya-sumber  yang ada dan harga diri sebagai kekuatan sosial yang besar untuk mendorong mereka melakukan hal tersebut. Itulah yang terjadi sebenarnya bila ditarik benang merah latar belakang permasalahan konflik yang terjadi di Pulau Bangka selama ini.

Walaupun sudah terjadi, konflik tersebut harus dapat diredam, didinginkan, dan didamaikan agar tidak terjadi lagi konflik-konflik yang berkelanjutan sesudahnya. Tujuannya tidak lain untuk mencari akar permasalahan yang menyebabkan munculnya konflik-konflik tersebut di atas untuk diselesaikan dengan baik, membicarakannya secara terbuka dengan melibatkan semua warga kedua atau lebih  suku bangsa tersebut yang sedang terlibat di dalam konflik  dengan memperhatikan aturan-aturan kemanusiaan yang adil dan beradab.

Hal ini dapat dilakukan dengan melibatkan peran pihak dari luar atau pihak ketiga yang tidak memihak. Pihak ketiga ini antara lain melalui media pemerintah setempat, baik itu pemda ataupun pejabat pemerintah di tingkat kecamatan, pihak kepolisian, maupun yang berkompeten dalam hal ini yang bisa menyelesaikan konflik. Perdamaian adalah langkah pertama yang harus diambil oleh pihak ketiga ini.

>> Upaya-upaya yang harus dilakukan oleh pihak kepolisian dalam menangani konflik sosial seperti ini, antara lain:

Dalam masa pra konflik biasanya banyak ditandai dengan kejadian-kejadian konflik antar individu yang akan  berlanjut menjadi konflik antar kelompok  atau golongan. Misalnya perkelahian antar seorang pemuda dari suku yang  berbeda, biasanya akan berlanjut ke tingkat yang eskalasi yang lebih  besar.

Dalam hal ini polisi cepat tanggap dapat melakukan kegiatan penangkapan untuk dilanjutkan ke proses hukum terhadap para pelaku agar menimbulkan efek jera bagi warga lain dalam suku tersebut, sehingga pra konflik tidak akan menjadi sebuah konflik sehingga akar permasalahan dapat diketahui. Frekuensi tingkat patroli polisi dan giat-giat perpolisian masyarakat (polmas) ke daerah-daerah rawan pra konflik.

Konflik akan menjadi pressure bagi warga untuk tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang mengarah ke konflik, giat polmas akan menimbulkan  kesadaran hukum akan pentingnya hidup bersosial dan rasa tenteram di dalam kehidupan bermasyarakat, jika muncul perang antar kelompok,  maka polisi harus segera menengahi konflik fisik atau perang yang sedang atau yang akan segera terjadi dengan cara mengirimkan pasukan yang kekuatannya lebih besar  dibanding yang berperang. 

Namun, semua tindakan tersebut di atas akan menjadi sia-sia  apabila kedua suku bangsa tersebut tidak ada upaya atau komitmen yang kuat di luar dari perdamaian untuk mengembalikan pola-pola keharmonisan hubungan yang baik sebagaimana yang berlaku di dalam hidup bermasyarakat. Perlu juga dilakukan pendidikan moralitas dan pendalaman ajaran agama masing-masing yang menekankan akan pentingnya saling harga-menghargai dan hormat-menghormati dengan penuh toleransi antar umat beragama.

Kerjasama ini harus dibina secara berkesinambungan. Pihak ketiga yang netral harus selalu siap memfasilitasi dan mengawasi hubungan tersebut  demi terciptanya keamanan dan ketertiban di dalam masyarakat.


REFERENSI:


Tidak ada komentar:

Posting Komentar