1. Fungsi agama dalam masyarakat
Agama
merupakan salah satu prinsip yang (harus) dimiliki oleh setiap manusia untuk
mempercayai Tuhan dalam kehidupan mereka. Tidak hanya itu, secara individu
agama bisa digunakan untuk menuntun kehidupan manusia dalam mengarungi
kehidupannya sehari-hari. Namun, kalau dilihat dari secara kelompok atau
masyarakat, bagaimana kita memahami agama tersebut dalam kehidupan masyarakat ?
Prof. Dr. H. Jalaluddin dalam bukunya Psikologi Agama membantu
kita memahami beberapa fungsi agama dalam masyarakat, antara lain:
1.Fungsi Edukatif
(Pendidikan)
Ajaran agama secara
yuridis (hukum) berfungsi menyuruh/mengajak dan melarang yang harus dipatuhi
agar pribagi penganutnya menjadi baik dan benar, dan terbiasa dengan yang baik
dan yang benar menurut ajaran agama masing-masing.
2.Fungsi Penyelamat
Dimanapun manusia
berada, dia selalu menginginkan dirinya selamat. Keselamatan yang diberikan
oleh agama meliputi kehidupan dunia dan akhirat. Charles Kimball dalam bukunya
Kala Agama Menjadi Bencana melontarkan kritik tajam terhadap agama monoteisme
(ajaran menganut Tuhan satu). Menurutnya, sekarang ini agama tidak lagi berhak
bertanya: Apakah umat di luat agamaku diselamatkan atau tidak? Apalagi bertanya
bagaimana mereka bisa diselamatkan? Teologi (agama) harus meninggalkan
perspektif (pandangan) sempit tersebut. Teologi mesti terbuka bahwa Tuhan
mempunyai rencana keselamatan umat manusia yang menyeluruh. Rencana itu tidak
pernah terbuka dan mungkin agamaku tidak cukup menyelami secara sendirian. Bisa
jadi agama-agama lain mempunyai pengertian dan sumbangan untuk menyelami
rencana keselamatan Tuhan tersebut. Dari sinilah, dialog antar agama bisa
dimulai dengan terbuka dan jujur serta setara.
3.Fungsi Perdamaian
Melalui tuntunan
agama seorang/sekelompok orang yang bersalah atau berdosa mencapai kedamaian
batin dan perdamaian dengan diri sendiri, sesama, semesta dan Alloh. Tentu
dia/mereka harus bertaubat dan mengubah cara hidup.
Fungsi Kontrol
Sosial. Ajaran agama membentuk penganutnya makin peka terhadap masalah-masalah
sosial seperti, kemaksiatan, kemiskinan, keadilan, kesejahteraan dan
kemanusiaan. Kepekaan ini juga mendorong untuk tidak bisa berdiam diri
menyaksikan kebatilan yang merasuki sistem kehidupan yang ada.
4.Fungsi Pemupuk Rasa Solidaritas
Bila fungsi ini
dibangun secara serius dan tulus, maka persaudaraan yang kokoh akan berdiri
tegak menjadi pilar "Civil Society" (kehidupan masyarakat) yang
memukau.
Fungsi Pembaharuan.
Ajaran agama dapat mengubah kehidupan pribadi seseorang atau kelompok menjadi
kehidupan baru. Dengan fungsi ini seharusnya agama terus-menerus menjadi agen
perubahan basis-basis nilai dan moral bagi kehidupan bermasyarakat, berbangsa
dan bernegara.
5.Fungsi Kreatif
Fungsi ini menopang
dan mendorong fungsi pembaharuan untuk mengajak umat beragama bekerja produktif
dan inovatif bukan hanya bagi diri sendiri tetapi juga bagi orang lain.
Fungsi Sublimatif
(bersifat perubahan emosi). Ajaran agama mensucikan segala usaha manusia, bukan
saja yang bersifat agamawi, melainkan juga bersifat duniawi. Usaha manusia
selama tidak bertentangan dengan norma-norma agama, bila dilakukan atas niat
yang tulus, karena untuk Alloh, itu adalah ibadah.
2. {studi-kasus} Konflik
yang berkaitan dengan agama yang ada di masyarakat
Indonesia
adalah sebuah masyarakat majemuk yang terdiri atas banyak suku bangsa, baik
langsung maupun tidak langsung, dipaksa bersatu di bawah kekuasaan sebuah
sistem nasional. Negara kesatuan Indonesia pada dasarnya dapat mengandung
potensi kerawanan akibat keanekaragaman suku bangsa, bahasa, agama, ras dan
etnis golongan (SARA) sehingga hal tersebut merupakan faktor yang akan
berpengaruh terhadap lahirnya potensi konflik. Ini terbukti dengan makin marak
dan meluasnya konflik akhir-akhir ini Indonesia .
Hal inilah yang
terjadi di pulau Bangka beberapa tahun yang
lalu. Karena dorongan faktor perekonomian banyak pendatang mengadu nasib di
daerah ini. Suku bangsa keturunan Cina yang sudah sangat lama menetap di pulau
Bangka, Suku Madura, Suku Jawa, Suku Bugis, Suku Palembang, dan masyarakat dari
daerah Flores serta suku lain dalam jumlah yang relatif kecil. Keanekaragaman
suku ini yang terkadang sulit dipersatukan dimana mereka bertahan dengan
pandangan sempit, egoisme kesukuan daerah masing-masing, hasilnya gesekan-gesekan
konflik pecah menjadi sebuah pertumpahan darah.
Anda masih ingat
dengan kerusuhan malam lebaran Idul Fitri tanggal 2 November 2006 di Desa Air
Bara antara masyarakat pribumi Bangka dengan warga Air Sampik (mayoritas suku
Jawa) yang menyebabkan beberapa rumah warga Air Sampik hangus terbakar,
kerusuhan antar penambang timah yang melibatkan antara Suku Bugis Makassar,
Suku Palembang, dengan masyarakat asli Belinyu pada tahun 2006.
Penyebab Konflik
Konflik yang
terjadi di daerah ini sering diidentikkan dengan konflik fisik yang cenderung
dengan penggunaan kekerasan terhadap musuhnya.
Berawal dari hanya permasalahan jatidiri orang-perorang akhirnya
berkembang mewakili jatidiri golongan atau kelompok untuk menghancurkan pihak
lawan atau memenangkan konflik tersebut.
Kerusuhan malam
lebaran Idul Fitri di Desa Airbara seperti yang disebutkan sebelumnya
disebabkan karena tanah kelahiran orang Melayu Bangka yang tinggal di Desa
Airbara terasa diinjak-injak kehormatannya oleh suku bangsa lain yang hanya pendatang,
tetapi yang terjadi harus mengorbankan nyawa seorang pemuda Airbara yang
terbunuh oleh warga Airsampik walaupun perbuatan korban saat itu bermula dari kasus pemerasan terhadap salah satu
warga Airsampik.
Kerusuhan antar
penambang timah (ti apung) yang sarat dengan potensi sara di Laut Bubus Belinyu
pada akhir Mei 2006 berawal dari
perebutan lahan penambangan di Laut Bubus dan Batu Atap saat itu, menambah deret kecemburuan sosial bagi
masyarakat Belinyu yang beranggapan bahwa kawasan tersebut adalah milik orang
Belinyu, sudah sepatutnya mereka merasakan hasil bumi alamnya, bukanlah untuk
dimiliki oleh suku bangsa lain yang hanya datang sebagai tamu saja dan mengeruk
keuntungan, lalu pergi begitu saja.
**Akar Masalah dan Penanganan Konflik
Hubungan antara
masyarakat pendatang dengan masyarakat setempat terpusat pada masalah kompetisi
untuk memperebutkan sumber-sumber daya,
dan tingkat agretivitas secara ekonomi dari pendatang adalah masalah yang
paling kritikal dalam persaingan sumber daya. Karena masyarakat setempat
melihat diri mereka sebagai tuan rumah dan para pendatang sebagai tamunya, (
Parsudi Suparlan, 2005: 178). Yang tak luput
adalah masalah harga diri atau kehormatan mereka. Konflik-konflik itu terjadi, karena adanya
pengaktifan jatidiri etnik untuk solidaritas memperebutkan sumber
daya-sumber yang ada dan harga diri
sebagai kekuatan sosial yang besar untuk mendorong mereka melakukan hal
tersebut. Itulah yang terjadi sebenarnya bila ditarik benang merah latar
belakang permasalahan konflik yang terjadi di Pulau Bangka selama ini.
Walaupun sudah
terjadi, konflik tersebut harus dapat diredam, didinginkan, dan didamaikan agar
tidak terjadi lagi konflik-konflik yang berkelanjutan sesudahnya. Tujuannya
tidak lain untuk mencari akar permasalahan yang menyebabkan munculnya
konflik-konflik tersebut di atas untuk diselesaikan dengan baik,
membicarakannya secara terbuka dengan melibatkan semua warga kedua atau
lebih suku bangsa tersebut yang sedang
terlibat di dalam konflik dengan
memperhatikan aturan-aturan kemanusiaan yang adil dan beradab.
Hal ini dapat
dilakukan dengan melibatkan peran pihak dari luar atau pihak ketiga yang tidak
memihak. Pihak ketiga ini antara lain melalui media pemerintah setempat, baik
itu pemda ataupun pejabat pemerintah di tingkat kecamatan, pihak kepolisian,
maupun yang berkompeten dalam hal ini yang bisa menyelesaikan konflik.
Perdamaian adalah langkah pertama yang harus diambil oleh pihak ketiga ini.
>> Upaya-upaya yang harus dilakukan
oleh pihak kepolisian dalam menangani konflik sosial seperti ini, antara lain:
Dalam masa pra
konflik biasanya banyak ditandai dengan kejadian-kejadian konflik antar
individu yang akan berlanjut menjadi
konflik antar kelompok atau golongan.
Misalnya perkelahian antar seorang pemuda dari suku yang berbeda, biasanya akan berlanjut ke tingkat
yang eskalasi yang lebih besar.
Dalam hal ini
polisi cepat tanggap dapat melakukan kegiatan penangkapan untuk dilanjutkan ke
proses hukum terhadap para pelaku agar menimbulkan efek jera bagi warga lain
dalam suku tersebut, sehingga pra konflik tidak akan menjadi sebuah konflik
sehingga akar permasalahan dapat diketahui. Frekuensi tingkat patroli polisi
dan giat-giat perpolisian masyarakat (polmas) ke daerah-daerah rawan pra
konflik.
Konflik akan
menjadi pressure bagi warga untuk tidak melakukan kegiatan-kegiatan yang
mengarah ke konflik, giat polmas akan menimbulkan kesadaran hukum akan pentingnya hidup
bersosial dan rasa tenteram di dalam kehidupan bermasyarakat, jika muncul
perang antar kelompok, maka polisi harus
segera menengahi konflik fisik atau perang yang sedang atau yang akan segera
terjadi dengan cara mengirimkan pasukan yang kekuatannya lebih besar dibanding yang berperang.
Namun, semua
tindakan tersebut di atas akan menjadi sia-sia
apabila kedua suku bangsa tersebut tidak ada upaya atau komitmen yang
kuat di luar dari perdamaian untuk mengembalikan pola-pola keharmonisan
hubungan yang baik sebagaimana yang berlaku di dalam hidup bermasyarakat. Perlu
juga dilakukan pendidikan moralitas dan pendalaman ajaran agama masing-masing
yang menekankan akan pentingnya saling harga-menghargai dan hormat-menghormati
dengan penuh toleransi antar umat beragama.
Kerjasama ini harus
dibina secara berkesinambungan. Pihak ketiga yang netral harus selalu siap
memfasilitasi dan mengawasi hubungan tersebut
demi terciptanya keamanan dan ketertiban di dalam masyarakat.
REFERENSI:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar